A Day Out

Attention! Tanpa plot, isinya ReoNagi dating, bucin, sedikit OOC, local AU, ditulis menggunakan bahasa Indonesia, 1.3k kata, typos.

Enjoy!


Matahari tepat di atas ubun-ubun; Reo kini telah memarkirkan mobil di depan kediaman Nagi sang kekasih. Tiga kali klakson ia bunyikan sebagai isyarat akan kedatangannya. Kemudian tak lekas beberapa lama, pemuda surai abu-abu menampakkan batang hidungnya.

Dengan langkah malas khasnya, Nagi pun lekas menghampiri mobil Reo dan masuk diikuti dengan helaan napas berat.

“Panas banget, Yo.” Keluh Nagi sambil mengerucutkan bibir lengkap dengan wajah malasnya.

“Gemes banget bayiku utututu... Udah adem 'kan sekarang? AC-nya udah max ini.” ucap si surai violet, Mikage Reo, sambil menangkup wajah Nagi dan terus mengecup pipi serta dahi si abu dengan gemas. Faktanya, Reo Mikage selalu gemas dan gemas akan eksistensi Nagi Seishiro. Kalau bisa, Reo ingin menghabiskan hidupnya hanya untuk mengecup dan memeluk Nagi. Sudah benar-benar dimabuk cinta si bujang ungu satu ini.

Sedangkan sosok yang bersangkutan hanya bisa diam menerima perlakuan Reo. Melawan, protes, atau lain sebagainya hanyalah buang-buang waktu bagi Nagi. Pasalnya, Reo memang seperti itu dan akan selalu seperti itu sekalipun Nagi protes. Lagi pula, Nagi suka.

***

Sesuai dengan rencana, keduanya sampai di pusat furniture, OKEA. Terik matahari di luar yang begitu menyengat membuat Nagi menyipitkan mata secara refleks kala turun dari mobil. Reo yang tak jauh darinya langsung paham akan gelagat kekasihnya.

“Mau Reo gendong?” sontak pipi Nagi yang sudah merona efek suhu panas semakin memerah akibat tawaran Reo.

“Enggak ah. Mau jalan sendiri. Kaya bayi aja.” Nagi mengerucutkan bibir dan berlalu mendahului Reo.

“Biasanya mau- eh, Nagi tunggu dong!”

Berlari, tibalah Reo di dalam toko furniture. Suasana di dalam begitu kontras dibanding dengan di luar. Udara dari pendingin ruangan yang menyentuh kulit membuat Nagi bernapas lega. Pasalnya ia tak tahan dengan udara panas hari ini.

“Reo mau beli apa sih?”

“Beli rak buku.” jawab Reo sambil menaik turunkan alisnya.

“Biasanya Mami sama Papimu pesen semua furniture jati, kan? Tumben beli di sini?” tanya Nagi heran.

“Ga papa dong, Reo mau beli sendiri. Di rumah udah jati semua.” jawab Reo sambil menggandeng kekasihnya berjalan. Nagi hanya bisa diam manggut-manggut.

Sambil menautkan jari, bergandengan tangan, Reo dan Nagi menyusuri seluruh etalase. Dari ujung hingga ujung mereka susuri. Reo tampak sibuk mengoceh, entah memberikan ujuran kagum, komentar aneh, dan menjelaskan estetika mengenai furniture yang mereka temui. Terkadang terdengar tidak mutu, tapi Nagi tetap menyukai dan menikmatinya. Pacarnya ini memang cerewet, Nagi maklum.

“Nagi, lampunya bagus ga sih kalau ditaruh di kamar kamu?” Reo sibuk mengamati detail.

“Gak tau deh, Yo. Kayaknya aku asal taruh barang aja di kamar.” jawab Nagi polos, membuat gelak tawa si violet pecah. Nagi hanya memanyunkan bibir mendengar tawa Reo yang menyebalkan.

Tiga puluh lima menit berlalu, Nagi yang mengikuti Reo kesana-kemari pun mulai lelah. Sejak awal memang dia sudah 'loyo' seperti 'setting'-an asalnya. Tapi ia tetap mau menemani Reo. Bukan terpaksa, sebenarnya sama halnya dengan Reo: kepalang sayang. Lagi pula, Nagi juga ingin mendapat pelukan dari Reo. Menjadi budak cinta adalah gelar keduanya.

Tak dapat dipungkiri, ia lelah. Sedari tadi ia telah memutari toko dari ujung ke ujung. Hingga saat ini Reo pun masih bersemangat untuk melihat-lihat dan memilih barang yang diinginkan—tidak hanya rak, namun juga yang lainnya.

Tanpa sadar, Nagi menghentikan langkahnya mengikuti Reo. Refleks, Reo pun ikut berhenti mengingat mereka sedari tadi bergandengan tangan. Nagi berhenti tepat di depan sebuah tempat tidur yang sudah di-set sebagai sampel. Pandangannya tertuju pada tempat tidur yang nampak melambai-lambai seolah meminta untuk dipakai. Pandangan Nagi tak terputus pada tempat tidur di depannya, refleks kedua tangannya pun ikut menyentuh barang di depannya itu. Kedua mata abu-abu Nagi berbinar mengetahui betapa nyaman tempat tidur di depannya. Oh, ternyata sungguh empuk!

“Kamu mau itu?” tanya Reo lembut pada Nagi. Sebagai jawaban, Nagi hanya menggeleng. Namun ia masih sibuk memegang kasur empuk yang terpampang di sana.

Tak lama kemudian, seseorang menginterupsi kegiatan Nagi dan Reo. “Maaf, hanya ingin mengingatkan 'merusak berarti membeli'.” Petugas yang mendatangi Nagi berucap dengan nada sedikit pahit. Rautnya pun nampak angkuh lengkap dengan tangan yang tersilang di dada. Nagi hanya bisa diam terpaku beberapa detik sambil mengedipkan mata. Ia sedang mengelola informasi yang ada.

“Oh, iya. Maaf.” ucap Nagi setelah kepalanya selesai mengelola informasi. Cepat Nagi pun ingin berpindah tempat menyeret Reo ke spot lain.

“Kenapa?” Tak berhasil membawa langkah menjauh dari lokasi tempat tidur, kekasih ungunya diam memasang raut tidak senang pada petugas tadi.

“Saya hanya mengingatkan, jika merusak berarti membeli.” nada petugas itu masih saja pahit. Terlebih ketika Reo memberikan reaksi tidak senang.

“Ya udah, gue beli ini.” timpal Reo enteng.

“Boleh dilihat dulu price tag-nya untuk memastikan.” ucap petugas tersebut, lagi-lagi dengan nada yang masih konstan tidak enak.

“Udah, repot amat. Nih kartu gua. Proses langsung aja, ini gue angkut.” seketika si ungu langsung menyodorkan kartu debitnya. Ya, sebuah kartu debit berwarna hitam. Black card.

Seketika petugas itu diam. Dari mata yang tak dapat berbohong, ia nampak terkejut melihat kartu hitam yang disodorkan oleh Mikage Reo. Kemudian ia pun izin meninggalkan dua sejoli Reo dan Nagi untuk memproses barang.

“Reo, ngapain kamu beli?” tanya Nagi. Dalam hatinya sungguh campur aduk.

“Nagi mau ini, 'kan? Kenapa ga bilang Reo dari tadi?” ucap Reo sambil mengusap kedua punggung tangan Nagi dan menciumnya singkat.

“Aku ga pengen. Kamu kenapa suka gitu sih. Aku gamau.”

“Tapi tadi kamu pegang ini?”

“Bukan berarti aku pengen. Aku cuma mau rebahan aja, Yo. Aku capek.”

“Aku kira kamu mau. Lagi pula, aku ga suka nada bicara petugas tadi. Apalagi perlakuan dia ke kamu. Angkuh banget dia. Ga lagi deh ke sini.”

“Tapi aku juga salah, asal pegang.”

“Tetep sama aja.”

“Reo kamu buang-buang uang banget, mending itu buat beli barang yang kamu butuhin.”

“Sebenernya Reo ga butuh rak.” Ujaran Reo seketika membuat Nagi terkejut. Namun ia tetap konstan memasang wajah datarnya.

Bagaimana tidak terkejut, keduanya sudah jauh-jauh kemari di tengah cuaca panas yang menggeletar di luar sana. Pula Nagi sudah lelah berkeliling mengekori Reo, hingga akhirnya muncul drama dengan seorang petugas di toko, sedangkan yang bersangkutan sebenarnya tidak terlalu membutuhkan barang yang dicari.

“Terus kenapa ke sini?” tanya Nagi dingin. Dalam lubuk hatinya ia kesal.

“Maafin aku, Nagi. Tapi aku pengen kita keluar. Aku pengen OKEA date sama kamu. Kalau nanti ada barang yang kebeli, tetep bisa dipakai, 'kan?” jelas Reo panjang lebar sambil menggaruk tengkuknya. Ia sebenarnya sedikit ngeri dengan kekasihnya bila sudah cerewet seperti ini. Dunia seakan tidak baik-baik saja.

“Kenapa ga bilang dari awal?” Nagi yang sejatinya tidak suka berdebat, terpancing untuk mencecar pertanyaan.

“Maafin aku ya, sayang. I thought you would refuse if I said so.”

“You didn't even try to ask, Reo.”

“I'm sorry. Maaf ya, Nagi.” ucap Reo dengan nada penuh penyesalan. Wajahnya pun memelas.

“Ya, udah. Sekarang pulang aja. Itu barangnya kamu tarik aja. Boros, ga usah beli.”

“Nggak papa ya, sayang? Biarin aja, ya? Nanti aku kasih ke orang deh.” Nagi hanya mengembuskan napas kasar mendengar Reo merayu-rayu.

***

[Epilog]

Tangan Nagi sedari tadi sibuk dengan console controller, tak lupa kedua matanya sangat fokus pada layar di depannya. Sedangkan kekasih bersurai ungunya sedari tadi menaruh kepala pada pundak Nagi. Ia sibuk memeluk dari belakang si abu yang fokus dengan game kesayangannya.

Kata Nagi, ini adalah hukuman untuk Reo karena sudah bertingkah tidak jelas hari ini—mulai dari mengajaknya ke OKEA tanpa tujuan, hingga menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Di sisi lain, Reo tentu girang dengan hukuman semacam ini—tidak boleh melepas pelukan selama Nagi bermain gim. Jelas, ia sangat girang.

“Enak gini, 'kan. Ga jelas banget ngajak keluar tanpa tujuan. Mana pake beli begituan.” omel Nagi masih sibuk dengan dunianya. Reo terkekeh mendengar ucapan kekasihnya yang sedari tadi cerewet.

“Iya, maaf. Tapi tadi masih kebayang petugasnya waktu aku bilang tempat tidurnya buat dia. Kaget banget kayaknya.” ujar Reo lengkap dengan kekehan. Nagi pun mengembuskan napas.

“Ga boleh gitu lagi.”

“Iya, sayang. Iya, janji.” jawab Reo sambil mencium pipi tembam Nagi dengan gemas. Kemudian ia eratkan dekapannya pada Nagi dan membawanya jatuh, tertidur di sofa. Nagi pun melepaskan fokus pada console-nya. Pasalnya, Reo saat ini benar-benar mendekap Nagi di atas sofa sambil terus menciumnya seakan tidak membiarkan Nagi kembali pada dunia gimnya.

-Selesai.