Bertahan (narasi)
SunaOsa AU
⚠ angst (?), M/M, typo(s), fiksi, lokal, narasi, ditulis menggunakan bahasa Indonesia ⚠
Note: Mohon untuk membaca percakapan online Suna dan Osamu dalam utas sebelum membaca narasi ini. Terima kasih ♡
“Lagi masak apa?” Suna menyandarkan diri pada kusen pintu dapur Osamu. Sosok yang ditanya pun terkejut mendengar suara sang kekasih. Perlahan ia memutar badan menghadap sang empu suara. Rin di ujung sana dengan senyum kecil yang terpampang di wajahnya yang nampak lelah.
“Rin? Kok kamu ke sini?” Tanya Osamu dengan dahi mengernyit kecil tak lupa tangannya masih memegang spatula beserta celemek yang melingkar di pinggangnya.
“Engga boleh nih aku ke sini?” Tanya Suna yang terdengar ke arah menggoda ketimbang bertanya.
“Ya-ya boleh lah!” Jawab Osamu tergesa-gesa. Ucapannya membawa Suna pada tawa kecil.
Osamu kembali pada aktifitasnya. Berkutat dengan kompor, penggorengan, atau dengan kata lain memasak. Ia membiarkan diam di antara mereka mengudara beberapa waktu. Di ruangan ini tak ada suara selain suara desis dari masakan Osamu. Suna maupun Osamu tak ada yang mengubah atmosfer sepi ini.
Suna yang tadinya menyandarkan diri pada kusen pun beranjak. Ia berjalan mendekat menuju sosok di seberangnya. Begitu sampai pada yang dituju langsung mendekatkan diri. Perlahan Osamu dapat merasakan dua tangan melingkari pinggangnya dan ikatan itu semakin kencang. Kemudian ia merasakan sebuah beban di pundak kirinya. Kepala sang kekasih ada di pundaknya. Suna menangkupkan wajahnya di pundak kiri Osamu. Osamu dapat merasakan aroma khas Suna, begitu pula Suna.
Detik kemudian, perlahan Osamu dapat merasakan pundaknya basah. Air keluar dari kedua netra Suna Rintarō. Ia tak dapat membendungnya lebih lama. Air mata tumpah membasahi pundak kokoh Miya Osamu.
Osamu mematikan kompor dan terdiam tanpa kata. Ia seolah membiarkan Suna menumpahkan semuanya. Ia biarkan semua tumpah dan secara gamblang membuat hati Osamu teriris. Sakit, sangat sakit melihat Suna Rintarō menangis di pundaknya untuk pertama kalinya.
Suna yang biasanya tegar mendadak lemah di pundaknya. Osamu tak biasa dan ini menyakitkan. Ia menahan diri untuk tidak ikut kalut dan menumpahkan air mata.
“Samu,” Panggil Suna dengan suara parau. Osamu semakin teriris.
“Maafin Rin kemarin emosi di chat. Rin kelepasan, Rin ga bermaksud nyakitin Samu, Rin capek banget kemaren,” Lanjut Suna. Osamu menggit bibirnya menahan tangis. Mengingat kejadian tempo lalu begitu menyakitkan baginya. Suna tak pernah berkata kasar atau mengatakan hal yang menyakitkan pada sang kekasih. Namun, tempo lalu adalah pengecualian.
“Rin bukannya lari, Rin itu bingung dan masih mecari waktu yang tepat untuk bicara masalah ini,” Suna semakin mengeratkan rengkuhannya.
“Samu pasti capek, ya? Maafin Rin, ya?”
“Rin juga capek banget kenapa hubungan kita seolah dihalangi sama orang-orang,” Osamu berusaha tegar mendengar ucapan Suna Rintarō.
Bila berkata jujur Osamu lelah. Osamu lelah dengan keadaan yang menuntutnya baik-baik saja di hadapan semua orang. Ia lelah dengan hubungan yang selalu penuh halangan. Ia lelah berlari dari masalah perbedaan. Ia lelah menerima sindiran dan cercaan. Ia lelah selalu ditolak. Ia lelah dipandang sebelah mata. Ia lelah dan tidak baik-baik saja. Mungkin hal yang sama juga dirasakan Suna Rintarō.
“Rin janji bakal bahas ini, tapi engga sekarang. Kita cari waktu yang tepat ya, By?” Ucap Suna dengan kepala yang tak lagi menangkup di pundak Osamu. Ia kemudian mengecup leher Osamu. Bukan kecupan sensual yang mengundang berahi, melainkan kecupan singkat yang tulus.
“Samu adalah kado terbaik buat Rin. Rin beruntung banget punya Osamu. Rin mau kado ini selamanya buat Rin,” Ucap Suna dengan sedikit tawa.
“Samu, tolong bertahan, ya? Kita sama-sama hadapi ini.”
Bertahan? Apakah ia mampu? Osamu tak tahu. Ia bungkam tak menjawab Rintarō dan hanya mengusap-usap tangan yang merengkuhnya. Senyum yang sulit diartikan terpatri pada wajahnya.
“Selamat ulang tahun, Rin my lovely fox.” Ucap Miya Osamu dengan senyum yang terpatri di wajahnya.