Coffee

Atsukita AU inspired by a song: Coffee by Beabadoobee

⚠ slight minor spoilers, manga references, non-baku, cringe overload, domestic fluff, and typo(s) ⚠

A/n: i struck by atsukita brainrot lately, then in 2am i decided to wrote this trash inspired by a song that i was listening to. Hiks, i luv this otp hikssrottdd


Shinsuke meringkuk di atas kasur seorang diri di tengah dinginnya malam. Waktu berjalan hampir tengah malam, namun sepertinya kantuk enggan datang kepadanya. Ia terjaga. Entah apa yang sedang dipikirkannya, pandangannya seolah kosong. Ia menatap cincin yang melingkar di jari manis kanannya. Warnanya emas muda, mengingatkannya pada seseorang. Ah, sial! Pemuda minim ekspresi ini rupanya sedang gundah. Ia merindukan seseorang dengan senyum lebar yang tak pernah luput. Senyum lebar yang tulus dan hangat. Shinsuke rindu, sangat rindu. Ia rindu Atsumu, suaranya, senyumnya, tawanya, segalanya tentang si Miya pirang. Ia sangat rindu, walupun satu jam yang lalu mereka baru saja bertemu secara virtual. Itu sebenarnya tidak benar-benar mengobati rindu, karena ia ingin Atsumu di hadapannya, nyata secara fisik ada.

Sayang seribu sayang, mereka memang harus terpisah karena profesi. Miya Atsumu sebagai atlet voli profesional dengan tim pilihannya, MSBY Black Jackals, yang berbasis di Osaka. Sedangkan Kita Shinsuke yang memilih jalan hidupnya sebagai petani beras unggulan di Hyogo bersama sang Nenek. Pahit manisnya hubungan jarak jauh harus mereka telan. Beruntunglah sekarang zaman maju, jarak bisa disiasati dengan teknologi. Video call, telepon, dan pesan online semuanya benar-benar membantu. Namun, fisik seseorang tetaplah akan dirindu. Bercengkrama langsung merupakan sesuatu yang mahal bagi Shinsuke maupun Atsumu.

Entah angin dari mana, pemuda bersurai abu-abu dengan warna hitam di ujungnya ini ingat dengan sebuah momen. Waktu itu musim panas. Miya Atsumu memutuskan untuk menghabiskan waktu liburannya selama seminggu di rumah keluarga Kita. Di tengah siang yang terik, Shinsuke memotong semangka ditemani Nenek Kita Yumie dan Atsumu di depannya. Atsumu sedang beranja-anja di pangkuan Nenek Yumie sambil terus bercerita berbagai hal, mulai dari voli, rekan timnya, osamu dan kedainya, juga tentang dirinya. Sesekali Nenek tertawa karena tingkah Atsumu yang benar-benar seperti bayi besar. Shinsuke pun diam-diam tersenyum mendengar mereka saling bertukar cerita. Hingga tiba-tiba Atsumu berujar aneh.

“Nenek, bolehkan secepatnya Shinsuke mengambil margaku? Nenek mau Shinsuke segera menikah kan? Shinsuke cerita saat SMA,” Kita Yumie hanya tersenyum mendengar ucapan Atsumu yang terdengar melantur. Shinsuke hanya bisa ternganga kaget mendengar ucapan Miya pirang barusan. Bisa-bisanya ia berbicara begitu, padahal mereka tidak punya hubungan spesial selain senior-junior dan mantan rekan tim voli sekolah.

Atsumu pun menegakkan badannya, sejajar dengan Kita Yumie. “Boleh kan, Nek? Secepatnya?” Ucap Atsumu tanpa keraguan, terdengar dari nadanya.

Sebuah senyum keibuan terbit di wajah Yumie yang tak lagi muda. Tangannya terulur, mengusap surai pirang Miya. Senyumnya masih ada di sana, sangat lembut dan penuh dengan aura keibuan.

“Nenek percaya dengan Atsumu,” Ucap Yumie sambil masih mengusap kepala Atsumu. “Bukankah aku sudah pernah mengatakan itu padamu, Atsumu?” Ucap Kita Yumie sambil tersenyum.

“Nenek?” Shinsuke menyatukan alisnya bingung. Kenapa Nenek juga sama melantur seperti Atsumu? Ia merasa mereka telah merencanakan sesuatu sejak lama di belakangnya.

Atsumu mendudukkan dirinya. Jaraknya hanya setengah lengan dengan Shinsuke. Pemuda berambut silver-hitam pun semakin heran, mengapa jarak mereka begitu dekat. Shinsuke tidak tahan dipermainkan seperti ini. Ia pun memjamkan mata, menarik napas, dan mengembuskannya perlahan.

“Atsumu?” Panggil Kita yang lebih seperti bertanya dengan nada dingin khasnya.

“Ya, Shinsuke?” Jawab Atsumu.

“Ada apa? Kau dan nenek sangat aneh.” Ucap Shinsuke pada intinya.

“Kami tidak aneh.” Shinsuke gemas mendengar jawaban juniornya ini.

“At-”

“Shinsuke,” Atsumu memotong kalimat Kita. Ia juga menjeda kalimatnya. Shinsuke memperhatikan Atsumu intens. Samar-samar semburat kemerahan mewarnai pipi pemuda pirang dihadapannya. Shinsuke menautkan alis semakin tak mengerti.

“Kita Shinsuke, ayo menikah.” Lanjut Atsumu dengan lugas. Detik kemudian warna merah semakin jelas di wajah Atsumu. Shinsuke mengedipkan matanya beberapa kali. Otak cemerlangnya yang penuh logika dingin tidak salah memproses informasi. Ya, tidak salah, Atsumu mengajaknya menikah.

Shinsuke bingung. Selama ini hubungan mereka memang dekat. Sampai-sampai Shinsuke memperbolehkan si pirang memanggil nama kecilnya. Tetapi, mereka tidak pernah berkomitmen atau memiliki hubungan yang orang lain sebut dengan 'pacaran'. Hubungan mereka memang aneh. Namun, tidak salah, mereka benar-benar dekat dan semakin dekat setiap harinya. Hingga Shinsuke memutuskan untuk menjadi petani dan Atsumu menjadi atlet profesional, mereka tetap dekat. Hampir setiap minggu, Miya sulung mengunjungi rumah keluarga Kita. Si Miya sulung ini juga dekat dengan nenek Shinsuke. Bahkan, Atsumu sering sekali beranja-anja dengannya-seperti anak dengan ibunya. Lalu, saat ini secara tiba-tiba Atsumu mengajaknya menikah? Ah, mungkin dia bercanda, mengingat juniornya ini memang senang melawak. Atau, barangkali Atsumu terkena demam musim panas, sehingga membuatnya berbicara tidak jelas.

“Atsumu, apa kau demam?”

“Tidak, aku sehat.”

“Atsumu, kau tidak usah bercanda. Pernikahan bukanlah sesuatu yang pantas untuk dipermainkan.” Ucap Shinsuke sambil melanjutkan kegiatan memotong semangka yang sempat terhenti.

Garis lengkung terbentuk di wajah Miya pirang. Ia pun merogoh saku di bajunya. Sebuah benda persegi berwarna merah dikeluarkan dari sakunya. Ia menyodorkan benda itu di hadapan seniornya. Tangannya membuka kotak berlapis bludru merah, lalu tampaklah sebuah cincin emas muda. Shinsuke menatap tidak percaya kotak itu. Logika dingin masih berkuasa di kepalanya.

“Aku tidak sedang bercanda, Shinsuke.” Kurva itu masih tersungging di wajah Atsumu. Ia menunggu.

“Atsumu, kita bahkan tidak pernah pacaran atau apapun itu. Lalu, kau tiba-tiba mengajakku menikah?” Atsumu sudah menduga ini akan terjadi. Shinsuke dengan logika dinginnya memang tak terpisahkan.

“Kita tidak perlu pacaran, Shinsuke. Kita sudah paham satu sama lain. Kita juga sudah berproses selama tiga tahun. Bahkan saat kau lulus, hubungan kita malah semakin dekat. Apa Shinsuke mau kita pacaran dulu seperti orang-orang?” Jelas Atsumu masih dengan senyum, yang entah mengapa sekarang terlihat menyebalkan di mata Shinsuke.

Diam tiba-tiba menusuk. Tak ada yang bergeming, tak ada yang berkutik. Sialan, ini sangat aneh. Apa ia tertolak? Atsumu pun menghela napas. Senyumnya perlahan luntur. Kepala bersurai pirang itu tertunduk.

“Nenek... sepertinya Shinsuke menolakku-”

“Coba katakan lagi.” Shinsuke tiba-tiba bersuara.

“Apa?” Atsumu mengedipkan matanya berkali-kali. Otaknya lambat memproses informasi.

“Katakan lagi lamaranmu itu.” Ucap Kita Shinsuke dengan tenang, namun darah bergumul di pipi tembamnya. Tak dapat dipungkiri, Shinsuke yang dingin tengah tersipu malu.

“E-eh?” Mata atsumu membulat sempurna.

Ah, Shinsuke lucu sekali saat tersipu!

“KITA SHINSUKE, MAU KAH KAU MENIKAH DENGANKU?” Atsumu mengulang dengan lugas dan tegas. Kalimat itu lancar keluar dari mulutnya.

“Ya!”

Bahagia membucah di dada si Atlet muda begitu mendengar jawaban 'ya'. Atsumu pun melingkarkan cincin di jari manis kanan Shinsuke. Pemuda yang lebih tua tidak bisa menahan. Ia langsung menghantam tubuh yang lebih muda dengan pelukan. Air mata keluar membasahi ceruk leher Atsumu. Kali ini tidak ada Shinsuke yang dingin. Kali ini hanya ada Kita Shinsuke yang bahagia.

“Shin?” sebuah suara menginterupsi kegiatan nostalgia Shinsuke.

“Shin-chan? Belum tidur?” Shinsuke tidak bersuara menanggapi pertanyaan retoris dari Atsumu-yang sekarang menyandang gelar tunangannya.

“Shinsuke rindu Tsumu, ya?” Tanya si pirang dari ujung pintu. Ia meletakkan beberapa barang dan tas olahraga di samping pintu.

“Engga.” Jawab Shinsuke singkat dan datar.

“Yah, padahal Tsumu rindu berat sama Shinsuke.” Goda Atsumu dengan wajah memelas yang dibuat-buat. Kemudian ia menyusul mantan kaptennya di atas ranjang.

Atsumu memeluk pemuda yang lebih tua. Ia ingin melepas rindu melalui pelukan. Ah, rasanya ia tak ingin melepaskannya sampai kapanpun, seperti tak ada hari esok. Shinsuke yang menerima perlakuan Atsumu pun hanya diam, seakan merasakan—ide—hal yang sama.

“Shin? Sudah tidur?” Tanya Atsumu lembut karena kekasihnya tidak berkutik.

“Shin mau buat kopi, Tsumu juga ya?” Ujar Shinsuke menengadah menatap lawan bicaranya.

“Nanti Shin engga bisa tidur loh?”

Shinsuke kembali menyembunyikan wajah bulatnya di dada Atsumu. “Shin engga mau tidur dulu, mau sama Tsumu.” Jawab Kita Shinsuke dengan suara bergumam akibat menyembuyikan wajahnya.

Persetan, mengapa tiba-tiba dia manja sekali!

“Tapi besok pagi kan Shinsuke harus kerja.”

“Shin bisa kok tidur 2 jam, habis itu tetep ke ladang.”

“Shin jangan-”

“Tsumu,” Apa yang bisa Atsumu perbuat selain meng-iya-kan?

“Baiklah.”

“Tsumu mandi, Shin buat kopi.”

Shinsuke pun lekas beranjak meninggalkan Atsumu yang masih tersenyum-senyum di atas ranjang. Si pirang mengamati tunangannya ini menyiapkan air di kamar mandi yang letaknya di sebrang ranjang.

“Tsumu, airnya udah siap, buruan mandi.” Ucap si pemuda bersurai monokrom sambil berkacak pinggang. Atsumu pun tertawa melihat tingkah lucu Shinsuke. Ia membawa tubuhnya menuju pemuda yang sedang berkacak pinggang, lalu mengusap gemas kepalanya, kemudian ia melenggang menuju kamar mandi. Saat Atsumu sedang membasuh dirinya, Shinsuke pun menyiapkan pakaian ganti untuk si pirang. Setelah itu, ia menuju ke dapur.

Di dapur, Shinsuke berkutat dengan air panas, bubuk kopi, dan creamer. Pertama ia merebus air menggunakan teko kecil. Kemudian, dengan telaten tangannya memasukkan bubuk kopi kedalam dua mug berwarna sama-putih. Bunyi uap nyaring terdengar, dengan segera tangannya mematikan kompor dan menuang air panas di kedua mug berisi kopi. Setelah itu, tangan yang biasa digunakan untuk menyiangi gulma, kini mengaduk kopi dengan telaten.

Di tengah kegiatannya itu, sesuatu menginterupsi. Sesuatu menyeruak diantara kedua lengannya. Dua lengan bersekal tengah melingkari pinggangnya. Tak lupa, kepala bermahkota pirang tengah bertumpu pada pundak Shinsuke. Ia bisa merasakan napas beraroma mentol dari mouthwash, masuk ke penciumannya.

“Punya Tsumu creamer-nya sedikit aja ya. Liat Shinsuke udah manis.” Ucap Miya pirang enteng, lalu berakhir dihadiahi sikut oleh yang bersangkutan. Atsumu hanya mengaduh diselingi tawa ringan.

Setelah itu mereka menuju ruang tamu. Di sana dua insan tengah bergelung di atas sofa, dengan selimut yang membungkus keduanya. Tak lupa, siaran lokal yang menayangkan dorama roman jadul ikut menemani. Keduanya saling bertukan kehangatan dari suhu tubuh masing-masing. Bibir tipis berwarna merah jambu milik pemuda yang lebih tua menyesap kopi hitam tanpa gula. Pahitnya kopi tak terasa karena ia sedang menikmati manisnya berdua.

Sedetik kemudian, suara rintik air yang menghantam atap samar-samar terdengar. Lama-lama, intensitasnya semakin tinggi. Hujan mengguyur tanah Hyogo. Air yang bertemu tanah menguarkan aroma petrichor yang menenangkan. Suasana semakin syahdu untuk bertukar rasa, karsa, dan kehangatan. Ini saat yang selalu didamba oleh Shinsuke juga Atsumu. Momen sejuta dolar, bukan, ini Momen tak ternilai.

Kepala berhias surai berwarna hitam-putih menyandar pada dada bidang sang atlet. Sedangkan tangan sang atlet sibuk mengusap kepala pasangannya. Tak ada yang bersuara, seakan keduanya menikmati setiap detik yang berlalu.

“Shin-chan, kenapa tiba-tiba mau kopi tengah malam?” Sebuah kalimat tanya yang sejak tadi berada di kepala, lolos dari mulut si Atlet. Namun, yang ditanya tidak memberikan jawaban melainkan sebuah tawa ringan.

Tentu saja semuanya jelas. Jelas tersirat. Kita Shinsuke tidak ingin melewatkan setiap detik berharga bersama dengan pasangannya ini begitu saja. Jarak telah memisahkan mereka hampir setiap hari, bahkan sudah dua minggu Atsumu tidak pulang. Bercengkrama langsung tentu saja sesuatu yang sangat manis. Maka, ia menyiasati ini dengan kopi hitam tanpa gula. Berharap, membuat keduanya terjaga. Momen manis hingga membuat kopi pahit yang disesap Shinsuke terasa manis.

Bila dipikir, mungkin Shinsuke sedikit egois dengan caranya ini—memaksakan keduanya terjaga. Tapi mau bagaimana? Rindu sudah di pucuk ubun-ubun, tak dapat dibendung, biarkan ego menang kali ini saja. Intinya, Shinsuke rindu Atsumu.

Don't go to bed, I'll make coffee for you and me Stay awake under the rain, we're perfect together. I love you

Fin.


#1746words

25/10/'20 24/11/'20