I Can't Lose You

Way too drunk to say sober things. Intoxicating yet pleasing. Your existence is a catastrophe in this little heaven

TAGS 3k words, E-rated, Explicit, NSFW, angst, alcohol, drunk, exes, one sided love (but not really), internalized conflict, mixed feelings, pwp, dubcon, kitchen sex, sex with feeling, drunk sex, aftercare, they fail to move on, too bego to reunite.

Atsumu merebahkan kepalanya secara asal pada sandaran kepala di bangku penumpang. Ia memandang keluar jendela, melihat lampu-lampu malam yang bergerak ke belakang seiring taksinya melaju.

Kemeja biru tua dengan kancing atasnya terbuka, lengan baju yang digulung asal, pandangannya sedikit mengabur, wajahnya memerah, pikirannya mengawang, nafasnya menguarkan aroma tembakau dan alkohol. Kesadarannya tengah di pucuk. Singkatnya, ia mabuk, setelah seperempat malam dihabiskan pada bar.

Beban pekerjaan yang selama ini mengisi seluruh ruang otaknya kini telah menguap seolah menghilang. Tak ada lagi tekanan dan kecemasan yang menguasai pikirannya. Sebagai ganti atas ilusi efek alkohol, pikirannya kini di bawah kuasa sosok indah bersurai monokrom. Ia mengobrak-abrik isi kepala Miya Atsumu malam ini.

Atsumu yang tampak kacau terkapar di bangku belakang. Pikirannya melayang liar membayangkan rupa indah si surai monokrom, lengkap dengan iris coklat mahoninya. Wajah manisnya dengan sempurna tercetak pada pandangan kabur Atsumu. Tak ada yang dipikirkan Miya Atsumu saat ini selain Kita Shinsuke si surai monokrom dengan netra sewarna mahoni.

Roda taxi terus bergulir, pikiran Atsumu pun ikut bergulir membayangkan bagaimana eloknya figur Kita Shinsuke. Kulit langsat yang lamat-lamat terlihat tan bak porselen mulus. Bingkai wajah yang majelis. Raut muka enigmatic penuh dengan teka-teki. Netra yang menusuk namun juga menunjukkan gairah menggebu dalam diam. Iris coklat bagai mahoni. Bibir tipis ranum yang menimbulkan candu bila dikecap. Alis bagai cakrawala yang membentang. Bayangan sosok Kita Shinsuke sungguh memabukkan bagi Atsumu, juga sangat menyakitkan.

Roda-roda taksi yang tadinya bergulir kini berhenti. Ia telah sampai pada perhentiannya. Sebuah rumah bercat kuning gading di pinggir jalan adalah tujuannya. Lekas ia membayar ongkos jalan dan keluar. Taksi kuning yang ditumpanginya pun melaju lagi setelahnya, meninggalkan Atsumu seorang diri pukul tiga pagi.

Dengan kesadaran yang tipis bagai selaput, Atsumu membawa langkahnya pada pintu putih di depannya. Detik kemudian ia mengetuk pintu tanpa dosa. Pukul tiga pagi, seolah tak bersalah ia menghampiri rumah orang lain dan mengetuk berharap sang tuan rumah membukakan pintu. Butuh waktu lima menit bagi harapan Atsumu untuk terkabul. Ya, tuan rumah membukakan pintu untuk si tidak-tahu-diri, Atsumu.

Sosok yang sedari tadi memenuhi pikiran Miya Atsumu menampakan diri di hadapannya. Emosi bahagia membuncah begitu netranya menangkap bingkai wajah Shinsuke. Rambutnya sedikit berantakan, lengkap dengan kantung mata yang samar terlihat. Wajah khas bangun tidurnya kentara. Hal itu memicu Atsumu menarik busur di wajahnya. Ia tersenyum tanpa dosa.

“Aku pulang.”

“Pulang? Ini bukan rumahmu.” Kita menukikkan kedua alisnya.

“You're the home.” ucap si pirang dengan enteng. Busur di wajahnya masih terpasang di sana.

Kita menyilangkan kedua tangannya. Pemuda di hadapannya ini sungguh menyebalkan. “Jangan melawak pagi-pagi buta. Pulanglah, kau salah alamat.”

“Betul kok. Ini rumahku, the home where I belong.”

“Lawakan apa ini?”

“Shin, am I allowed in?”

“Kamu mabuk lagi?”

“I'm not sure, kayaknya iya?”

Bercakap dengan orang mabuk adalah hal paling tidak waras yang dilakukan oleh Kita Shinsuke. Terlebih, ini adalah pagi-pagi buta, seharusnya Shinsuke masih dengan khidmat meringkuk di atas kasur. Namun manusia pirang ini menginterupsi kekhidtmatannya tanpa dosa. Lihat saja senyum miring di wajahnya yang memerah, sungguh menyebalkan.

Ini bukan kali pertama Atsumu dengan keadaan mabuk menghampirinya. Terhitung sudah empat kali termasuk hari ini, tabiat busuknya ini terjadi. Shinsuke mulai saat ini mengingat polanya: datang pagi-pagi buta, mengetuk pintu dalam keadaan mabuk, menginap dengan alibi bahwa ini adalah rumah-nya.

Kita Shinsuke selalu membukakan pintu dan memberikan tempat untuk si pirang. Walaupun kondisinya kacau dengan bau tembakau dan alkohol menguar, ia tetap mempersilakan Atsumu masuk. Ia paham bahwa toleransi alkohol Atsumu tidak terlalu buruk. Ia pula bukan sosok yang akan mengacau dan berbuat aneh saat mabuk. Sebaliknya, ia hanya akan tepar di sofa ruang tamu dan tidur dengan pulas. Kita mungkin bisa menilai Atsumu adalah: a happy drunk.

Karena tak mau membuang waktu dan tenaganya yang begitu berharga, Kita pun menggeser badannya dari kusen pintu dan memberi ruang—isyarat bagi Atsumu untuk masuk.

Benar saja, setelah masuk, Atsumu langsung mendudukan diri di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Dengan posisi menengadah—menumpukan leher pada sandaran sofa—matanya yang sayu perlahan terpejam. Raut wajah terlihat sangat tenang. Dasar pemabuk aneh.

Sejenak Kita Shinsuke berdiri lima langkah dari si pirang. Kedua netra sewarna mahoni miliknya memindai wajah Miya Atsumu yang terpejam dengan posisi duduk. Ia amati alis tebal, kedua kelopak yang terkatup berhias bulu mata lentik, hidung lancip dengan aksen kemerahan pada kulitnya, rahang tegas. Atsumu tidak berubah sedikitpun bahkan sejak mereka berakhir. Dengan kata lain, ia tetap tampan. Yang berubah hanyalah tabiat Atsumu yang suka mabuk dan mengetuk pintunya pada pukul tiga pagi.

Kehadiran Atsumu yang seperti ini selalu membuat waktu bangun pagi Kita menjadi lebih cepat. Lekas ia menyudahi kegiatan menatap intens sosok pirang di sofa. Kedua kaki Shinsuke kemudian membawa dirinya ke dapur.

Di pojok dapur ia berada. Kita menyibukkan dirinya dengan pakaian kotor. Tangannya memasukan satu persatu pakaian pada mesin cuci. Kemudian ia berlanjut membuat teh. Ya, teh adalah kebutuhan dasar. Sebuah ketenangan jiwa.

Dirinya sibuk berkutat di counter dapur—merebus air, menyiapkan cangkir, dan tetek bengeknya. Kafein yang bisa ditolerir olehnya dengan sempurna adalah teh. Teh pula memberikan efek relaksasi bagi Shinsuke. Ini adalah penyelamat untuk paginya yang diinterupsi oleh Atsumu.

Kini tangan kanan Shinsuke menuang dengan perlahan air panas yang mendidih ke dalam cangkir putih kesukaannya. Begitu air bening menyentuh kantong teh di dalam cangkir, warnanya berubah coklat. Aroma khas teh yang diseduh menggelitik penciuman Kita. Efeknya mampu melemaskan otot-otot Kita yang berkedut tegang.

Ritual minum teh pagi Kita Shinsuke yang khidmat tidak boleh diinterupsi. Karena ini adalah kunci mengawali hari dengan baik. Namun sayang, Dewi Fortuna sepertinya enggan tersenyum kepadanya hari ini.

Sebuah suara menginterupsi dari belakang—suara tarikan kursi meja makan. Miya Atsumu ada di sana mendudukan diri dengan wajah sayu. Kehadirannya membuat Shinsuke menarik napas berat.

“Lagi buat teh?” ucap Atsumu retoris dengan suara parau.

“Mau?” tawar Shinsuke sambil menyeruput tehnya. Ia masih berdiri di counter.

“Aku ga tau kalo kamu masih simpen cangkir putih itu. Kamu masih suka?” ucap Atsumu enteng. Ia berusaha mengorek masa lalu.

“Selama masih berfungsi, kenapa ngga dipake?” jawab Shinsuke sedikit menyelipkan kebohongan. Memang benar, selama barang masih berfungsi dengan baik, Shinsuke akan tetap memakainya. Namun tidak dipungkiri bahwa kenyataannya, Shinsuke suka dengan cangkir putih ini. Dari seluruh cangkir yang ada, ini adalah favoritnya. Namun ia enggan mengakui itu di hadapan Atsumu.

Atsumu pun kemudian mengusap kasar wajahnya, disusul dengan Kita yang datang dan meletakkan segelas air putih di hadapannya. Atsumu menatap lama air putih di depannya. Kita pun mendudukan diri di kursi sebelah Atsumu.

“Shin, I'm happy to see you in person. Seeing your frame is a serotonin doping for me. Thank you for existing.” ucap Atsumu masih dengan konstan menatap segelas air putih di depan. Senyum tipis pun ikut hadir di wajah merahnya.

“Orang mabuk jangan mengada-ada. Diminum dulu.”

“Shin, apa kamu ga mau bareng aku lagi? Aku beneran terombang-ambing ga sama kamu lagi.” ucap Atsumu dengan nada serius yang tersirat kesedihan. Shinsuke tak memberikan sepatah kata pun sebagai respon kalimat Atsumu.

Shinsuke sadar bahwa Atsumu adalah a happy drunk. Sisi ceria dan impulsifnya akan muncul ketika ia mabuk. Namun kali ini tak dapat dipungkiri bahwa kesedihan ikut campur dalam diri Atsumu. Demikian hal tersebut masih tak mematahkan diam Shinsuke.

Detik kemudian setelah diam yang menusuk mengudara, Atsumu meraih tangan si rambut monokrom, Shinsuke. Kemudian ia membuat bibirnya bersentuhan dengan telapak Kita. Penuh kasih, afeksi, dan devosi. Butuh waktu enam puluh sekon untuknya mencium telapak tangan Kita Shinsuke. Sosok empu tangan hanya diam memandang dengan emosi penuh fluktuasi.

“I can't get you out of my head. Please back to me, Shin.”

“Puitis sekali, huh? And you're drunk.”

“If I were sober, would you come back to me?”

“I didn't.”

“Is that too much to ask for?”

“None of us are bad, but we're just not compatible. Buktinya kita udah jalanin kemaren. Try to accept the reality, Tsum.”

“But I can't. I try and I fail. I think we were just fine.”

“Tsum-”

“I still love you.”

Atsumu memandang intens sosok di hadapannya. Maniknya bertemu manik mahoni milik Kita. Di sana ia dapat melihat samar refleksi dirinya yang kacau karena akhir yang masih tidak bisa diterima. Mata Atsumu sangat intens memandang raut muka enigmatic penuh teka-teki milik pemuda di hadapannya. Atsumu terjebak dalam labirin Kita Shinsuke.

Atsumu dengan berani, mengikis jarak secara perlahan. Ia tak peduli pada skenario terburuk dari reaksi Shinsuke nantinya. Rindunya yang sudah tak terbendung perlu diluapkan. Atsumu benar-benar menghilangkan jarak di antaranya dengan Shinsuke. Hingga pada akhirnya bibirnya bertemu dengan milik Shinsuke yang ranum. Bibir dengan bibir bersentuhan, ejawantah usapan kasih yang abu-abu.

Aneh, Shinsuke tak menolak barang sedikitpun. Hal itu membuat emosi yang campur-aduk menggelora pada diri Miya Atsumu.

Atsumu memejamkan matanya. Ia semakin memperdalam ciumannya. Semula hanya bibir dan bibir saling temu, kini saling menaut. Atsumu mengecap bibir tipis milik Shinsuke, lagi, setelah sekian purnama. Rasanya sangat manis, sangat memabukkan, dan mencekik.

Rasanya sangat luar biasa. Perasaan rindu yang benar-benar di ubun-ubun kini terluapkan. Ketika kesadarannya berada di ambang, namun dapat sepenuh hati merasakan segala emosi yang terombang-ambing. Semua dirasakan seperti euforia dalam katastrofe. Namun Atsumu tak acuh pada realita pahit yang harus ia telan, bahwasanya tidak ada lagi kata kita di antara keduanya—mereka bukan lagi kekasih yang sedang memadu cinta. Ciuman ini hanyalah ilusi belaka yang Atsumu nikmati kebohongannya.

Miya Atsumu kembali mencoba mengeksplorasi cumbuannya. Lidahnya kali ini menyusup ketika Kita memberikan celah. Atsumu adalah pria baik dan Kita adalah pria penurut. Maka dengan rendah hati Atsumu mengajak lidahnya berdansa dengan lidah Shinsuke. Lawan dansanya pun menyambut baik ajakan yang ada.

Saling menautkan lidah dan mengabsen gigi, Atsumu dapat mengecap teh hitam dari lidah Kita. Sebaliknya, Shinsuke dapat merasakan pahitnya whiskey dan nikotin yang samar terasa di pengecap Atsumu. Memabukan, cumbuan keduanya membuat mereka terbang. Cumbuan yang setiap detiknya semakin dalam memercikan api pada keduanya.

Kebutuhan akan pasokan oksigen untuk paru-paru menginterupsi keduanya dengan paksa. Pagutan mereka pun lepas, menyisakan jembatan saliva di antara keduanya. Dengan tergesa-gesa dua insan itu langsung menghirup oksigen.

Manik Atsumu menangkap wajah Shinsuke. Ia merah dan penuh ekspresi yang campur aduk. Ia pula mampu menangkap tatapan Shinsuke yang sedikit berkaca. Hal tersebut membuat hati Atsumu nyeri. Namun sudah kepalang tanggung, pikiran Atsumu yang mulai berkabut kembali mempertemukan bibir mereka untuk saling menaut. Hebatnya, lagi-lagi tak ada protes dari Kita Shinsuke.

Shinsuke yang tadinya hanya menerima kali ini perlahan mulai mencoba menunjukan dominasi. Pagutan mereka semakin intens, Atsumu menyukainya, sangat. Atsumu membiarkan lidah Shinsuke menuntun dansa mereka. Atsumu sangat senang, ia semakin berkabut. Sungguh berbahaya bila Kita Shinsuke sudah seperti ini. Sungguh berbahaya bagi kewarasan Miya Atsumu.

Bagai percikan api yang mampu membakar hutan dalam diam, pagutan intens mereka membuat keduanya tanpa sadar memanas. Atsumu pun dengan inisiatif melepas tautan lidah dan bibir mereka. Kini bibirnya beralih pada ceruk leher bak porselen milik Kita Shinsuke. Dikecupnya ceruk leher itu. Kecupannya lama-lama berubah menjadi jilatan, gigitan, dan hisapan. Tentu saja perbuatan si Miya pirang membuat sisi lain Kita Shinsuke berkedut dan mengeras.

Atsumu pun semakin sibuk di ceruk Shinsuke. Tangannya pula ikut sibuk menyelinap ke dalam kaos Shinsuke. Di sana ia menemukan tonjolan puting yang mengeras. Jari-jemarinya dengan nakal mengusap, menekan, dan memilinnya. Menengadah, Shinsuke mendesah frustrasi dan nikmat ulah Atsumu.

Membaca sinyal yang mengundang, Atsumu kembali mengambil inisiatif. Ia kemudian menaikkan Kita Shinsuke, yang notabene berbadan lebih kecil darinya, ke atas meja makan. Shinsuke kini terbaring di atas meja makan dengan wajah merah dan kacau oleh saliva, tak lupa tanda kemerahan di ceruknya. Atsumu kemudian menyibakkan kaos Shinsuke, mengekspos perut serta kedua puting yang memerah dan keras.

Kini ia menundukkan bada. Memposisikan benda lunak yang biasa untuk mengecap pada puting merah muda milik Shinsuke. Ia mainkan kedua puting itu bergantian dengan lidah. Tak luput, ia menyesapnya. Kita hanya bisa mendesah dan menggelinjang.

“Are you hard? Soalnya aku iya.” tanya Atsumu sambil menggerayangi benda Shinsuke yang masih terbalut sempurna oleh celana. Di sana Atsumu bisa merasakan milik Kita yang tegang dan keras.

“Punyaku juga keras, Shin. Wanna touch?” Shinsuke tak menjawab pertanyaan seduktif nan konyol Atsumu. Sebagai gantinya ia hanya mendesah. Pasalnya, kini Atsumu telah melucuti celana dan boxer Kita sampai pada pinggul, hingga menampakkan kepemilikan Kita yang berdiri lengkap dengan cairan putih di ujungnya.

Bagai menembus langit Kita mendesah lagi-lagi karena ulah Atsumu. Tangan si Miya pirang sekarang memainkan batang Shinsuke dengan seduktif. Menekan ujung kepala penis Shinsuke, kemudian memijatnya dengan gerakan naik turun, Atsumu benar-benar melakukannya dengan mulus.

Di tengah kabut kalut dan nafsu, Kita dihadapkan pada konflik internal dengan dirinya. Ia mungkin saat ini menjadi manusia paling hipokrit di dunia. Bagaimana tidak, ia sungguh menyukai sentuhan Miya Atsumu. Setiap sentuhan memberikan nikmat bagai potongan surga. Namun di sisi lain, ia tidak mau perasaannya menguasai dirinya untuk menerima Atsumu dalam hidupnya.

Tangan dan jari-jemari Atsumu yang tadinya sibuk memainkan kejantanan Shinsuke kini beralih melebarkan selangkangan Shinsuke. Jarinya yang tadi berurusan memberikan kenikmatan pada kejantanan milik Shinsuke, kini beralih pada lubang dubur yang berkedut.

Di sana dengan dua jarinya, Atsumu mengobrak-abrik lubang merah berkedut Shinsuke. Pemiliknya hanya bisa pasrah menerima segalanya dengan nikmat. Leguhan dan desahan menjadi saksi kenikmatan yang dirasakan si surai monokrom.

“Shin, please say something. Call my name. Say you want me again.” Kita tak menuruti permintaan si Miya pirang. Egonya masih berkuasa atas dirinya.

Detik kemudian Atsumu mengeluarkan miliknya tanpa melucuti seluruh bawahannya. Ia sudah tegak sepenuhnya. Lubang kita yang terpampang di depannya sungguh mengundang batang Atsumu untuk melakukan penetrasi secepatnya. Lekas setelah mengocoknya, Atsumu langsung memposisikan kepemilikannya yang tegak ke ujung lubang dubur Shinsuke.

Saat kepala penis si pirang masuk, desahan nyeri tertahan di kerongkongan Kita. Rasanya sakit bagai dibelah dua sekujur tubuhnya. Atsumu pun tetap berlanjut, ia terus mendorong penisnya hingga setengah masuk. Kemudian ia berhenti dan menatap wajah Kita yang semakin kacau, terlebih dengan rintihan. Tangannya pun menjulur mengusap bingkai wajah Kita Shinsuke dengan lembut. Ibu jarinya terus mengusap-usap pipi tembam Kita. Gestur Atsumu mencoba mengatakan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.

Setelahnya, Atsumu kembali melanjutkan memasukan miliknya. Shinsuke mendesah begitu Atsumu masuk sepenuhnya—besar mengisi penuh lubang Shinsuke. Desahan nikmat dan sakit terus keluar dari mulut Kita. Hanya desahan, tak sedikit pun ia menggaungkan nama Atsumu. Namun tak dapat dipungkiri, Kita suka setiap sentuhan surga yang diberikan Atsumu. Tetapi ia terus berusaha menyangkal dalam diam. Kontradiktif sekali.

Atsumu mulai menggerakkan pinggulnya maju dan mundur perlahan. Pahanya bertemu dengan pantat sintal Shinsuke dan saling tumbuk. Atsumu rindu setiap inci kulit dan tubuh mantan kekasihnya ini, hal ini tentu saja membuat euforia memenuhi Atsumu. Hal yang sama pun dirasakan oleh sosok di atas meja.

Kita semakin menggila dibuatnya. Seluruh semesta seolah seperti berputar hanya pada keduanya. Ia menggelinjang karena nikmat. Atsumu semakin menambah temponya hingga menyentuh rektum, sambil tangangannya menyambar milik Shinsuke yang menganggur. Getaran yang ada membuat meja makan tempat mereka bercinta, berdecit kasar. Gelas berisi air putih yang belum sempat disentuh oleh Atsumu pun jatuh menumpahkan isinya dan menggelinding jatuh. Tak ada yang peduli, mereka tetap saling memompa satu sama lain.

Mata coklat Atsumu tak henti memandang wajah sosok di bawahnya yang terlentang berantakan penuh nikmat. Raut penuh teka-teki yang biasanya menghiasi wajahnya kini tergantikan dengan wajah sensual yang mengundang. Hal itu tentu saja tak mengurangi fakta bahwa Kita Shinsuke menawan. Justru pemandangan Shinsuke yang kacau seperti ini sungguh mengobrak-abrik kewarasan Miya pirang.

Atsumu sangat suka memandangnya. Sangat indah dan menawan. Terlebih suara desahan dan lenguhan dari mulut Shinsuke adalah musik paling indah di telinga Miya pirang. Tapi Atsumu masih menginginkan namanya digaungkan oleh bibir Shinsuke ketika ritual sakral mereka berjalan.

Puncak kenikmatan menghampiri keduanya. Lubang Shinsuke semakin mengetat, menghimpit kencang Atsumu di dalamnya. Atsumu semakin gila dan menambah temponya. Rektum Shinsuke semakin sering dihantam oleh penis Atsumu. Rasanya seperti surga dan neraka di saat yang bersamaan. Hingga pada hentakan kesekian, keduanya saling lepas. Tubuh Shinsuke meliuk bagai busur panah akibat tumbukan Atsumu yang tak terkira. Desahan panjang dari keduanya menjadi pamungkas kegiatan bercinta mereka. Atsumu menumpahkan benihnya di dalam Shinsuke sepenuhnya. Rasanya hangat dan nyaman.

Keduanya saling membenahi diri, namun posisi Kita masihlah terkapar di atas meja makan. Terengah-engah, Kita berusaha mengumpulkan tenaga dan kewarasannya yang tercecer.

Kemudian, si Miya pirang menangkup wajah Kita Shinsuke dengan tangan kanannya. Ditatapnya intens dengan sendu wajah kita yang terpejam sambil mengumpulkan napas. Ia kemudian mencabut kejantanannya, menyebabkan sisa-sisa pertarungan mereka meluber keluar. Lagi-lagi Atsumu jatuh cinta pada Kita Shinsuke, yang mana hal tersebut sungguh terasa sakit. Dada Atsumu mencelos rasanya.

Spontan Atsumu langsung membungkukan badan, memeluk Kita yang masih terlentang di atas meja makan. Kepalanya ia letakkan di ceruk leher Kita. Reflek, Kita membalas dengan memberikan usapan di punggung bidang berbalut kemeja biru Atsumu. Posisi mereka cukup lama seperti ini, walaupun sepertinya terlihat tidak nyaman. Namun Atsumu merasakan sebaliknya—ia sangat nyaman dan merasa pulang. Tapi rupanya semua terasa fana.

“Maaf. Pasti sakit ga pake lubricant. Maaf.” ucap Atsumu dengan geletar khawatir di kalimatnya.

“Ganti dulu gelasnya, tukang mabuk.” jawab Kita keluar topik berusaha melawan emosi yang ada. Ia pula sedikit gemas dengan nasib gelasnya yang hancur. Atsumu pun terkekeh mendengarnya.

“Aku bersyukur mejanya ga roboh.”

“I will definitely kick you kalau beneran.” jawab Shinsuke ketus.

“Aku ga tau kalau kamu masih simpan cangkir putih itu. Aku juga ga tau kalau kamu masih ketat.” Atsumu berujar sedikit menggoda dengan kekehan menyebalkan. Kita tidak menanggapi barang sepatah kata pun. Hingga akhirnya membuat hening yang aneh mengisi ruang.

“Shin, lihat aku,” pinta Atsumu tiba-tiba. Atsumu yang tadinya merebahkan kepalanya di ceruk leher Shinsuke, kini menumpukan kedua tangannya di meja. Ia menatap intens kedua netra mahoni Shinsuke. Yang diminta pun kali ini menurut, Shinsuke menatap si pirang.

“Ayo kembali. Let me back to you, my home.” lanjut Atsumu dengan nada bersungguh-sungguh. Tanpa sadar linang air mata memenuhi pelupuk Miya pirang. Shinsuke mencelos dibuatnya, matanya pun ikut berkilat.

Jatuh, air mata Miya Atsumu jatuh membasahi pipi Kita Shinsuke. Atsumu detik ini adalah pria payah yang terus mengemis untuk dibukakan pintu rumah. Shinsuke pun bangkit mendudukan diri di meja. Atsumu pun ikut menegakkan badannya.

Dengan lembut Kita menangkup wajah sosok di hadapannya. Ia selanjutnya mengecup kedua mata Atsumu. Air mata pun semakin mengalir tanpa sadar membanjiri pipi Miya Atsumu. Kedua netra mahoni Kita yang memandang katastrofe di hadapannya langsung remuk bagai gelas di lantai dapur. Sakit dirasakan keduanya.

“No, Tsum. Maaf.”

“I love you, Shin.” ucap Atsumu dengan parau. Kalimatnya sungguh tulus diucapkan.

“Yeah. But sorry, Tsum.”

-Fin.

This is my very first explicit writing. So any DESTRUCTIVE criticism is very accepted.