Lawang Sewu
A sakuatsu fic/au
⚠ Narasi, harsh words, OOC, semi-baku, tida jelas, typo(s), fiction, lokal, cringe, narasi agak panjang ⚠
A/n: PENTING! Fic/AU ini berlatar di Lawang Sewu, yang mana ini adalah salah satu tempat bersejarah di Kota Semarang. Jika ada yang keberatan dan mau au (cerita) ini di-take-down, DM me @/rosette_nebulae on twitter. Thank you♡
Sakuatsu jadi korban random thought tengah malam. Harsh words. Bawaannya pas nulis interaksi mereka, selalu (terlintas di kepala) ada harsh words alias ngumpat. Udahlah, emang dinamika mereka kali, ya(?).
Lawang sewu, katanya. Atau secara harfiah artinya seribu pintu. Nyatanya tidak benar-benar ada seribu pintu di sana. Atsumu sudah membuktikan bersama pemuda ikal berambut legam. Iya, pemuda itu Sakusa Kiyoomi.
Atsumu merengek-rengek minta Sakusa pergi ke Lawang Sewu. Padahal, di sana tidak ada yang istimewa selain bangunan tua yang punya cerita lampau alias sejarah. Alasannya pergi ke sana pun tergolong konyol. “Gue pengen buktiin, pintunya beneran seribu apa engga.”, begitu kira-kira kata si blonde Miya langsung pada Kiyoomi. Sakusa dalam hati sebenarnya sudah gemas bukan main, namun ia hanya mengiyakan rengekan Atsumu yang benar-benar mirip bayi besar. Lucu.
Atsumu dan Sakusa adalah anak rantau. Keduanya bukan dari Semarang. Namun, karena kuliah, mereka pun rela jauh-jauh merantau ke kota ini guna menuntut ilmu. Tau seluk-beluk Semarang juga belum. Kalau mau jalan-jalan, ya mengandalkan Gugel Map atau Gin—Iya, Gin anak Semarang yang sefakultas dengan Atsumu. Jadi, mereka sama-sama tidak tahu apa-apa begitu masuk ke lokasi. Berbekal petunjuk dari papan-papan yang ada, mereka terus membawa langkah menyusuri si megah Lawang Sewu. Yah, tujuannya hanya satu: Atsumu hanya mau memastikan bahwa pintunya ada seribu atau tidak. Konyol.
Mari kita tinjau, kronologi singkat mereka.
Setelah memarkirkan mobil di lahan parkir depan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota, si pirang dan raven berjalan menuju lokasi tujuan yang jaraknya hanya beberapa meter. Lokasi Perpustakaan Kota dan Lawang Sewu bersebelahan, hanya dipisahkan oleh jalan raya. Parkir di sana merupakan saran dari Gin.
“Koe engko nek parkir ning Perpus Kota wae,” Begitu kata Gin tempo lalu dengan bahasa Semarang-an medhok.
[translet: Kalian nanti kalau parkir di Perpus Kota saja,]
Sesampainya di lokasi, mereka mengantre tiket di loket. Atsumu pun meminta dua tiket untuk orang dewasa kepada penjaga loket. Yang bersangkutan pun langsung memberikan apa yang diminta. Buru-buru Sakusa mengeluarkan dompet, namun Atsumu lebih cepat. Atsumu membayar dua tiket itu.
“Santai aja, Mi. Kan gue yang ngajak.” Ucap Miya Atsumu sambil senyum nyeleneh andalannya. Kemudian ia melanjutkan langkah.
“Iye.” Sakusa mengekor Atsumu.
Di depan sudah terpampang besar bangunan tua yang masih berdiri kokoh. Netra coklat si pirang nampak berkilat melihat pemandangan di depannya. “Gila sih, Mi. Ini mah keknya pintunya beneran seribu.” Atsumu masih sibuk mengagumi bangunan itu.
“Lu sanggup ngitungin satu-satu?” Ledek si ikal Sakusa.
“Kan ada, Lo.” Jawab Atsumu sekenanya.
“Maksudnya?”
“Gue juga kagak paham.” Tawa renyah lepas dari mulut Miya pirang. Sakusa maklum dengan ketidakjelasan Atsumu.
“Tsum, lu paham jalannya?” Sakusa was-was mengekor Atsumu. Pasalnya orang di depannya sama-sama awam soal tempat ini.
“Kan ada papannya, Omi.” Ucap Atsumu percaya diri. Padahal, ia juga asal saja.
“Oh, tumben otak lu berfungsi.”
“Serah dah.”
“Buruan diitungin.” Ucap Sakusa ketus. Atsumu mendecak kesal.
“Iye, iye ah!” Mulailah Atsumu memulai kegiatannya. Dimulai dari lorong Bangunan A, ia menghitung setiap pintu yang dilewati. Mulutnya komat-kamit menghitung mulai dari satu dan seterusnya.
Atsumu masih menggumamkan hitungannya. Ketika kira-kira sudah memasuki angka belasan, Atsumu berhenti. Ia menyadari partner-nya tertinggal, walaupun tidak jauh.
“Omi, ayo sini! Lama banget!” Sakusa hanya mendengus dan berjalan menyusul Atsumu.
Atsumu masih tidak melanjutkan kegiatan menghitungnya. Matanya sibuk melihat lorong di sebelahnya. Tempat mereka berhenti adalah ruangan yang berisi informasi dan galeri tentang sejarah bangunan ini. Bentuknya berupa lorong panjang yang terpisahkan oleh sekat-sekat bercat putih. Melihat lorong ini seakan menimbulkan paradoks pintu—lorong—tanpa ujung. Ini menarik perhatian si pirang. Matanya mengedip beberapa kali, lalu menengok ke arah Sakusa. “Omi, keren ni... Fotoin dong, Mi!” Ucapnya dengan kekehan kecil di akhir.
Yang diminta pun segera mengeluarkan ponsel dan mengambil momen. Atsumu pun berpose sambil menatap kamera ponsel Kiyoomi. Setelah beberapa take, Sakusa menyerahkan ponselnya pada Atsumu.
“Wagilaseh, gue emang ganteng.” Komentar Atsumu heboh saat melihat hasil jepretan si ikal. Kemudian ia menggeser ke gambar selanjutnya. “Liat deh, Mi, keren banget. Gue pamerin ntar ke Samu sama Suna!” Lanjut Atsumu bangga. Tak lupa dengan tawa di akhir kalimatnya. Sifat narcissistic-nya mulai muncul. Kumat, dah.
Atsumu masi sibuk mengagumi dirinya lewat hasil jepretan Sakusa. Hingga akhirnya, sebuah suara menginterupsi. Suara tawa berat milik Sakusa Kiyoomi.
“Tsum, lo lucu. Sayang banget deh.” Ucap Sakusa sambil mencubit hidung si pirang.
Atsumu mengaduh dan cepat-cepat menyingkirkan tangan Sakusa dari hidungnya. “Anjir, apaan sih, Mi? Lo nyeremin. Jangan-jangan ini bukan Omi?”
“Ga boleh ngumpat di tempat gini, Tsum,” Sakusa mengambil alih ponsel dari tangan Atsumu. “Ayo lanjut ngitungin pintunya.”
“Mi, beneran deh lu nyeremin. Gue pengen pulang.”
“Astaga, Tsum. Kaki gue napak nih. Yaudah si kalo pengen pulang.”
“Jangan dong! Sayang dua puluh ribu gue buat masuk. Gue juga belum ngitung jumlah pasti pintunya.” Atsumu merengek-rengek.
Setelah perdebatan kecil yang tidak penting antara Sakusa dan Atsumu, mereka pun melanjutkan menghitung pintu. Lorong demi lorong mereka lewati. Kaki mereka sudah meniti banyaknya anak tangga. Mungkin jumlahnya hampir menyentuh ratusan.
Hingga, pada tangga putar besi yang mereka titi, kaki Atsumu terserimpat dan hampir saja jatuh kalau saja Sakusa tidak dengan cekat menangkap lengan si pirang.
“Anjing-” Atsumu mengumpat begitu kakinya terserimpat.
“Tsum, ga boleh ngumpat.”
“Ya, gimana gue ga ngumpat?! Gue mau jatuh!” Atsumu emosi. Ia masih kaget.
“Tsum!” Sakusa menegaskan tegurannya. Suara baritonnya terdengar begitu tegas.
“Iya, iya maaf.” Sakusa melepaskan tangan dari lengan Atsumu.
“Makanya hati-hati. Yaudah pulang aja yok, cari tempat lain. Lagian lu bisa cari di gugel kalo cuma mastiin jumlah pintu.” Ucap Sakusa dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
“Kurang valid.” Jawab Atsumu sambil meniti tangga yang kurang lima anak tangga.
“Tadi udah berapa pintu?”
“Delapa.... Berapa ya, Mi?” Atsumu menoleh ke belakangngnya.
“Konyol.” Jawab Sakusa di belakang Miya pirang.
“Omi jahat, tapi gue sayang.”
“Ha?”
“Ha?”
“Lo bilang apa?” Sakusa menghentikan langkahnya.
“Apa?” Jawab Atsumu yang sudah sampai di bawah.
“Gejala gila lu.” Ujar Sakusa lalu berlalu mendahului Miya Atsumu.
“Apaan sih. Eh.. Omi, tungguin gue!” Atsumu menyusul si ikal yang terus saja berjalan seolah mengabaikan dirinya.
“Mi, kok kita keluar?” Pemuda yang ditanya hanya diam tak memberikan sepatah jawaban kepada Atsumu. Kedua manik hitamnya menyapu pandangan mencari seseorang. Atsumu masih setia berada di belakangnya dengan sebuah tanda tanya besar di kepalanya.
Omi kenapa?
“Mi... Lo marah ya?” Atsumu mulai merasa bersalah.
“Mi, maapin gue.. Jawab dong!” Atsumu masih belum menyerah, dan Sakusa masih bungkam sambil membawa langkahnya menuju seseorang.
“Omi! Mi...”
“Siang, Pak. Mau tanya,”
“Mi, Lo mau ngapain?” Atsumu bingung dengan Sakusa yang menghampiri seorang penjaga—security.
“Pak, di sini apa bener ada seribu pintu atau engga ya? Jumlah pastinya berapa, Pak?” Lanjut Sakusa bertanya.
“Engga, Mas. Itu hanya sebutan karena pintunya ada banyak, jadi disebut Lawang Sewu. Jumlah pasti pintunya itu cuma ###.”
“Tuh, Tsum.” Ucap Sakusa sambil menengok ke arah si pembuat acara hitung pintu.
“Makasi banyak, Pak. Ini temen saya penasaran banget. Mari, Pak.” Sakusa pun berlalu, lagi. Ia berjalan keluar dari lokasi dengan Atsumu berada di belakang.
Keduanya sekarang menyebrang jalan dan menuju ke tempat mobil Sakusa berada. Atsumu masih di belakang si ikal sambil tak henti-hentinya mengoceh mengungkapkan kekesalannya. Beberapa umpatan pun terselip di setiap kalimatnya. Sampai di dalam mobil pun bibir si blonde masih terus protes. Mulutnya benar-benar.
“Lu apaan sih, Mi. Malu-maluin gue.”
“Gimana? Dari pada lu ngitungin sampe mau jatuh gitu, ga kelar-kelar sampe lo punya anak cucu, ya gue tanya aja sama yang jaga.”
“Gausa ngelawak, anjing. Lu malu-maluin.”
“Gue sayang lo.” Ucap Sakusa Kiyoomi di luar konteks secara tiba-tiba. Satu kalimat itu berhasil membuat hening di antara mereka.
Atsumu tak berkutik. Dirinya masih asik memandang jalan melalui jendela di sebelahnya, tak lupa dengan bibir mengkerucut. Gestur pertanda bahwa ia pundung.
“Gue juga.” Jawab Atsumu masih dengan perasaan kesal secara tiba-tiba setelah beberapa detik hening yang tak nyaman. Sakusa terkekeh mendengarnya.
“Cari makan ya? Burger Kween?” Tawar si ikal.
“Terserah.”
“Apa Soto Pak Ukai? Katanya terkenal.”
“Apasi terserah.”
“Iya, iya Burger Kween for my queen.”
“Jijik, Bangsat. Cheesy banget. Jamet lu.”
Begitulah interaksi mereka berdua.
Tidak ada satu pun yang pernah maju mempertanyakan validasi. Semuanya hanya 'katanya'. Lawang Sewu, yang katanya seribu pintu, sama hanya dengan Sakusa dan Atsumu yang katanya saling sayang. Hanya katanya.
A/n: btw, omi sopan bgt waktu ngomong sm petugas sana:v xixi