No. 1 Dad(s);

Bagian 2: Jagoan Papa

cw // food , implying overprotective parent , implying anxious parent , smoking cigarettes , single parent life , implying panic feeling , angst and emotional (suggestive) , negative thoughts


“Papa!”

“Nao?” bocah berambut legam menghambur ke sosok yang tengah membuka pintu.

Miya Osamu, seorang orang tua tunggal yang hidup bahagia dengan membangun bisnis kuliner dan juga anak semata wayangnya, Miya Naoki.

Naoki mewarisi rambut legam Osamu, begitu pula iris matanya. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri, karena dihadapkan dengan keadaan.

Naoki terbiasa melakukan hampir apapun sendirian. Mulai dari belajar, mengerjakan PR, hingga berangkat sekolah. Tak jarang ia melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan membersihkan rumah sendiri. Ia benar-benar anak yang hebat di usianya yang masih satu dasawarsa. Sangat belia, namun bisa diandalkan.

“Liat, Nao bikin apa?!” ucap Nao penuh antusiasme yang berkilat di kedua matanya.

“Nao nyalain kompor? Bahaya itu, besok lagi jangan, oke?” Osamu tertegun dengan kepanikan. Alisnya menaut khawatir memandang putranya.

“Papa.. Nao bahkan belom bilang apa-apa!”

“Oke.. Nao bikin apa?”

“Lihat, nih bola-bola coklat! Nao ngga pake kompor kok bikin ini!” protes sang putra dengan nada kesal.

“Huh.. Papa panik. Ah, kamu pinter banget. Ini buat Papa kah?”

Naoki mengangguk penuh semangat. “Iya, buat Papa. Karena tadi Nao baca, katanya coklat bisa bikin seneng!”

“Gimana? Enak 'kan, Pa??”

“Iya, Enak. Kamu pinter banget, terima kasih ya!” Osamu mengusap pucuk kepala Nao dengan senyum lima jari.

“Tugas kamu udah selesai semua? Ada yang susah?” lanjut Osamu bertanya.

“Sudah!”

“Astaga, Nao pinter banget. Papa mandi dulu, ya. Ini udah malem, kamu tidur, ok?”

“Papa, Nao boleh minta temani tidur? Kalau Papa capek ga usah, ga papa kok.” hati Osamu terasa tertusuk-tusuk mendengar permintaan kecil anaknya. Bahkan di saat ia kurang perhatian, ia masih pengertian dengannya.

“Iya, Papa temani. Tapi Papa mandi dulu, ya?” ucap Osamu sambil mengusap pucuk kepala putranya. Nao pun mengangguk setuju.

Lekas Osamu mandi dengan kilat. Setelahnya ia menghampiri Nao yang tengah membaca komik favoritnya di atas kasur.

Lalu ia mengusap-usap kepala Nao yang bersiap untuk meluncur ke alam mimpi. Nao memejamkan mata menghadap sang Papa yang terus mengusap-usapnya. Perlu waktu kurang dari lima menit hingga Osamu melihat napas konstan dari tubuh putranya. Nao sudah terlelap.

“Malam, Miya Naoki jagoan Papa.” Osamu mengecup puncak kepala putranya penuh kasih, kemudian ia berlalu.

Di balkon belakang apartment Osamu berada saat ini. Bibirnya menyesap gulungan tembakau dengan api di ujungnya. Perlahan ia mengembuskan asap putih. Setiap embusan seolah melepaskan penatnya.

Dalam hati ia bermonolog. Ia sangat setuju bahwa ia adalah ayah yang buruk. Ia merasa tak pantas mendapatkan Nao sebagai putranya. Hatinya mencelos sakit terpikir bagaimana beratnya menjadi Nao yang hidup tanpa kasih ibu dan sosok ayah yang selalu ada di sampingnya. Pasti sangat berat menjadi Miya Naoki.

Hatinya benar-benar sakit. Badannya pun lelah. Ia selalu dan berusaha tegar. Namun ia tak bisa menitikan air mata. Ia lupa cara menangis. Terakhir kali ia menangis adalah saat Nao putra semata wayangnya lahir ke dunia.

Aku sungguh ayah yang buruk.

Osamu terus menghabiskan gulungan tembakaunya dalam diam. Dalam diam pula ia bersumpah kalau hidup dan matinya hanyalah untuk Nao. Ia ingin Naoki kecil-nya bahagia.

***