No. 1 Dad(s);
Bagian 3
cw // food , ooc , pining
Pukul dua belas lebih tujuh Suna kembali datang ke kedai Onigiri Miya. Ini adalah kali ketiga ia berkunjung. Sekarang ia sedang mengantre. Beruntunglah ia datang saat kedai tidak terlalu ramai.
Oh, di depan sana berjaga sosok yang diicarnya. Dewi fortuna memang sedang tersenyum pada si middle blocker—Suna.
Saat sampai pada gilirannya, laki-laki didepannya itu tersenyum ramah. Kedua alis tebalnya terangkat saat menarik senyum.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sosok di depan Suna Rintarō.
“Surprise me, berikan yang spesial hari ini.” jawab Suna dengan senyum tipis. Lawan bicaranya terkekeh kecil, lalu memasang senyum profesional.
“Negitoro masih dengan peminat yang tinggi sampai hari ini. Tapi sepertinya Anda sudah memesan itu. Bagaimana kalau mencoba fatty tuna onigiri?”
Oh dia mengingatnya?
“Apapun, aku bersedia.”
Seperti biasa setelah melakukan pembayaran ia langsung mencari tempat duduk. Dan lagi-lagi dewi Fortuna tersenyum kepadanya. Ia menemukan tempat yang tak jauh dari meja pemesanan. Lancar sudah acara curi-curi pandang. Aji mumpung.
Waktu berlalu dan onigiri dengan isi fatty tuna datang di hadapannya. Rintarō pun lantas menyantapnya dalam diam, tentu saja penuh penghayatan dalam setiap kecapan. Ia makan perlahan betul-betul menikmati. Selain karena menikmati, ia juga menggunakan kesempatan emasnya untuk mencuri pandang pada sosok di balik etalase pemesanan. Ia gunakan sudut matanya untuk melirik sosok di sana. Sungguh, Suna seperti bujang yang kasmaran.
Tapi tidak dapat dipungkiri, bahwa makanan di sini memang enak. Setiap gigitan akan membawa Suna bernostalgia pada rumah. Bagaimana ia dulu saat kecil membeli nasi kepal isi tuna di konbini dan memakannya di beranda rumah. Benar-benar bahagia kala itu rasanya. Rasa itu pula kini hadir dalam fatty tuna onigiri yang sedang ia santap.
Setelah beberapa waktu, sang atlet pun beranjak dari duduknya. Ia telah menghabiskan sajian yang dipesan dan situasi sedang lenggang. Sesuai rencana awal, ia pun menghampiri meja pemesanan untuk melancarkan aksinya.
“Halo, sepertinya aku akan jadi pelanggan tetap di sini.”
Pria di depan Suna mendengus geli dan tersenyum lebar mendengar pernyataan sang atlet.
“Aku tidak bohong, masakan di sini memang enak. Aku akan kembali lagi ke sini. Kau juga jadi faktornya.” ujar Suna dengan sifat blunt-nya secara gamblang. pria yang di depannya menautkan alis begitu mendengar kalimat Suna di akhir.
“Ah, terima kasih. Tapi, apa maksud saya menjadi faktor juga?”
“Ah tidak apa, bolehkah aku tau namamu? Kita bisa bertukar media sosial bila tidak keberatan.”
“Oh, kau bisa cek akun twitter-ku. Mya dengan dua ‘a’ underscore sam atau kau bisa cari sesuai keyword nama kedai ini.”
“baiklah, terima kasih.” ucap Suna lalu berlalu keluar.
“Ah, datang lah lain waktu. Aku menunggumu.”
Aku menunggumu?
***