Riwayatmu Dulu
Bengawan dan sepeda onthel jadi saksi bisu dua sejoli bermesra ria.
Tahun empat puluh di mana suasana manis tumpah ruah. Dua insan muda keladi tengah dimabuk asmara. Apa yang dilakukan terasa manis. Selalu berdua seperti tak ada hari esok. Selalu sepasang, seolah dunia hanya milik berdua.
Sepasang insan adam tengah berada di pucuk cinta. Pemuda surai pirang—Atsumu—dimabuk pesona pemuda surai monokrom. Sebaliknya, si surai monokrom—Shinsuke—jatuh hati pada pemuda pirang dengan tingkah jenakanya.
Ketika sore tiba keduanya akan keluar rumah menghabiskan waktu berdua dengan cinta bermekaran. Senyum malu, tersipu, dan adu rayu mewarnai. Di atas sepeda onthel lah dua insan ini menikmati euforia menjadi pasangan bujang. Oh, cinta mereka mengalir bagai bengawan.
Di tempat di mana cinta keduanya merekah terdapat sebuah bengawan—sungai besar—yang memisahkan dua desa. Di tengahnya biasa lalu lalang perahu pedagang dan perahu penyeberangan antar desa.
Suatu hari si bujang berambut pirang mengayuh sepeda onthel kesayangannya menuju rumah di dekat sawah, barat desa. Sambil mengayuh ia bersenandung ria karena akan menjemput sang kekasih hati. Sesampainya di depan beranda disambutlah ia oleh sosok manis lengkap dengan ulasan senyum kecil.
Segera ia turun dari sepeda dan menuntunnya “Ah, manis sekali.. Pasti sangatlah melelahkan menjadi sempurna sepertimu. Maka, naiklah dan lelahmu akan sirna. Aku akan membawamu pergi sampai bulan, Tuan!”
Shinsuke pun tertawa lepas mendengar kelakar Atsumu. Niat hati ingin merayu bagai pujangga dalan novel roman, ia malah ditertawakan oleh sang kekasih.
Detik kemudian Shinsuke melakukan seperti yang diminta Atsumu. Ia naik di sadel belakang, lalu langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggang si bujang pirang.
“Sudah siap meluncur, Tuan manis?” tanya Atsumu pada yang membonceng. Lagi-lagi Shinsuke menimpali dengan tawa lepas, namun kali ini diberikannya juga cubitan pada pinggang Atsumu. Sosok yang dicubit mengaduh dan terkekeh. Lekas kemudian si pirang mengayuh melajukan sepeda onthel.
Dua bujang yang sedang kasmaran ini menikmati sore dengan syahdu. Sengaja Atsumu membawa Shinsuke ke tengah kampung. Ini merupakan pengumuman tersirat bahwa ia—Miya Atsumu, anak kepala desa setempat—berhasil merebut hati Kita Shinsuke yang merupakan primadona dan idaman seluruh warga kampung.
Setelah berkeliling kampung, keduanya melaju sedikit menjauh dan menuju ke bengawan di timur. Di sana mereka hendak menghabiskan waktu di bantaran sungai. Namun sebelum itu, mereka menyempatkan diri untuk membeli jajan pasar.
Sesampainya di bantaran sungai turunlah keduanya dari si onthel. Kemudian digelarlah piknik kecil dengan jajan pasar sebagai kudapan dan rumput liar yang tumbuh sebagai karpet. Mulailah kencan berkedok piknik.
Dua bujang sungguh mesra. Yang pirang dengan manja meletakkan kepala di paha kekasihnya. Yang satunya, menyuapi penuh afeksi. Usapan lembut pada surai pirang Atsumu pun tak luput diberikan oleh Shinsuke. Jangan lupa adu rayu dilontarkan tiada henti oleh keduanya.
“Tuan manis, juwita hati, ada pasar malam di desa sebrang. Ayo, ke sana, biar kita bisa beli gula kapas yang manis, semanis senyummu.” rayu Atsumu pada Shinsuke. Sosok yang dirayu pun protes lelah tertawa karena kelakar Atsumu.
“Aku kan merayu, malah kamu tertawa. Harusnya tersipu malu. Nah, itu pas ada perahu ke sini!”
***
“Kakek udah berapa kali cerita itu?” Laki-laki di usia senjanya itu tertawa lepas mendengar cucunya protes. Shinsuke yang tak lagi muda menggelengkan kepala mendengarnya.
-Tamat